Air mataku bertetesan bersamaan dengan rintik air yang
berderai ke bumi. Dadaku kini sesak seperti orang yang tak bisa lagi menghirup gas oksigen. Tak bisa
dipungkiri, hujan membawa banyak cerita yang didalamnya menyangkut pautkan aku
dengan ibu.
Dahulu ibu yang selalu mendekapku ketika aku butuh
kehangatan. Dahulu ibu selalu memarahiku jika aku pulang dengan keadaan basah
kuyup. Sekarang
siapa yang peduli dengan keadaanku yang basah kuyup karena air hujan. Karena
sekarang ... ibu tak lagi bersamaku. Tak ada lagi dekapan yang menghangatkan
tubuhku dikala hujan datang. Tak ada lagi omelan-omelan yang terdengar di
telinga. Andai saja waktu dapat terulang. Karena hanya dengan waktu aku bisa
melihat ibu.
***
Jalanan aspal yang basah ditambah keadaan sekitar yang
gelap tak menyurutkan niatku untuk singgah sebentar ke tempat peristirahatan
ibu. Walaupun di sepanjang perjalanan aku sering mendengar suara klakson yang
menyebalkan dari mobil-mobil pekerja kantoran yang lelah bermacet-macetan, aku
berusaha tenang. Karena sebentar lagi aku akan bertemu ibu.
Hanya tinggal melewati satu tikungan lagi untuk sampai
ke tempat peristirahatan ibu yang terakhir. Namun di malam ini, jalanan
benar-benar terasa menyesakkan. Tak ada ruang gerak sama sekali. Sesekali
kubuka kaca mobil dan mematikan Air Conditioner, hanya untuk sekadar
mengatur jalan masuknya udara. Selebihnya tak ada kegiatan lain selain
memfokuskan diri pada ibu.
Saat jarak ku tinggal beberapa meter lagi untuk sampai
di tempat peristirahatan ibu, aku melihat seorang anak laki-laki dengan pakaian
compang-camping duduk sembari memegang batu nisan ibuku. Aku mencoba mendekat,
memastikan bahwa anak laki-laki itu benar adanya. Bukan hanya hanya ilusi dari
diriku.
***
Dibawah cahaya rembulan yang mengintip dibalik awan,
aku bertemu seorang anak laki-laki nyata yang dengan sabarnya duduk di samping
tempat peristirahatan ibuku. Aku menitikan air mata. Ia menunggu tempat
peristirahatan ibuku, yang tidak ada hubungan kekerabatan apapun dengannya.
Dan yang lebih menyedihkannya lagi, anak laki-laki itu
berbicara padaku, “Aku
setiap hari ada di sini. Karena aku juga sudah kehilangan ibuku. Kebetulan
juga, tempat ibuku ada di sebelah ibunya kakak.”
“Mengapa kamu tahu kalau
ini tempat ibunya kakak?”
tanyaku.
“Karena aku pernah melihat
kakak datang ke sini. Menampilkan wajah sedih,” terang anak laki-laki
itu. “Tapi
sudah lama sekali aku tidak melihat kakak, aku jadi kasihan kepada ibunya
kakak. Makanya, aku tungguin deh.”
Terbesit perasaan bersalah dalam diriku. Selama itukah
aku tidak mampir ke sini? Pantas saja selama ini ada yang membuncahkan
pikiranku, meresahkan hatiku, dan membuatku selalu bersedih ketika hujan turun.
Aku tersenyum kepada anak laki-laki yang kini berada
di sampingku. Merengkuhnya. Berterimakasih padanya karena selama ini telah
menjaga ibu, dan telah menyadarkan diriku dengan kata-kata polosnya itu.
Kini aku sadar, mengapa setiap hujan selalu ada cerita
tentang ibu. Dan mengapa dadaku selalu sesak ketika melihat hujan yang turun
untuk pertama kalinya. Itu semua karena aku terlalu lama tidak mengunjungi ibu.
Copyright
© 2017 by Anallanda